Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

Desain Demokrasi

Written By BloGGGQue on Senin, 24 September 2012 | 19.50


Debat ekonomi macam apakah yang akan dijalankan capres dan cawapres pada pilpres 2009 begitu mengemuka. Ini menarik sekaligus menyenangkan. Tetapi, senang tak cukup dengan mendengar janji mereka. Agar bisa ikut ”urun rembug” marilah kita diskusikan bersama sebagai diskursus besar bagi kemandirian dan kemoderenan Indonesia.

Demokrasi ekonomi-politik sesungguhnya menjadi tujuan pembangunan Indonesia. Yaitu  membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, seluruh pembangunan ekonomi-politik kita pun haruslah berlandaskan Pancasila. Pemikiran dan tindakan yang ingin kita bangun harus berdasar, bertujuan, dan berpedoman dalam penyelenggaraannya sebagai manifestasi ekonomi-politik Pancasila. Dalam arti singkat, ekonomi-politik Pancasila adalah ilmu dan cara berekonomi-politik menurut sila-sila dalam Pancasila; yaitu ilmu ekonomi-politik dan praktik berekonomi-politik yang berketuhanan yang maha esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, mementingkan persatuan Indonesia, menggunakan asas musyawarah, dan berujung pada berkeadilan sosial bagi semua masyarakat.

Kita sadar bahwa permasalahan yang terus menggerogoti Indonesia adalah kemiskinan sebagai problem yang telah lama menyatu dengan kondisi sosial masyarakat. Di masa Orde Lama kemiskinan tidak sempat diprioritaskan untuk diselesaikan karena pemerintah sibuk membangun politik. Masa Orde Baru, kemiskinan menjadi target utama yang harus diselesaikan lewat pembangunan ekonomi. Masa Orde Reformasi, kemiskinan jadi musuh utama masyarakat. Sayangnya, usaha-usaha pengentasan kemiskinan terhambat dan tidak dapat dilanjutkan karena krisis ekonomi dan proses reformasi serta penerapan ekonomi-politik neo-liberal yang anti rakyat. Akhirnya kemiskinan kini bukannya berkurang, sebaliknya bertambah luas.

Di tengah kekacauan tersebut, jelas tidak akan mudah untuk mengembangkan kembali konsep ekonomi-politik Pancasila, karena sebagai konsep ekonomi-politik dan konsep pembangunan harus memenuhi berbagai syarat. Di samping idealisme atau pandangan-pandangan yang normatif, harus juga memenuhi kaidah-kaidah ilmiah,  sehingga ada asas-asas objektif dan rasional yang dapat dikembangkan.


Dalam perjalanannya nanti kita dengan sadar mengatakan bahwa dasar ilmu ekonomi-politik kita adalah demokrasi ekonomi sekaligus demokrasi politik. Penjabarannya kemudian menjadi ilmu ekonomi-politik yang berangkat dari manajemen ekonomi negara yang berbasis kekeluargaan-kegotongroyongan [one for all, all for one. bhineka tunggal ika tan hanna dharma mangrwa]. Dus, merefleksikan kembali gagasan ini menjadi penting agar negara dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan penduduk karena kemampuan dari individu-individunya tidak mampu memenuhi kebutuhannya dengan sendiri. Pandangan ini dimaksudkan sebagai sintesa dari pandangan Weber [1958] yang menulis bahwa, ”manusia didominasi oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Tetapi, ia tetaplah tidak akan mampu memenuhinya jika tidak ada motif, etika dan hukum yang melindungi persaingan mereka.” Singkatnya, menjadi kaya adalah tujuan hidup semua orang, keluar dari perangkap kemiskinan adalah dambaan setiap manusia. Terbebas dari kekurangan adalah impian setiap orang.

Argumen di atas juga dikuatkan oleh hipotesa Hegel [1821] yang menulis bahwa, ”bukan cuma kesalahan dalam mengambil keputusan saja yang bisa membuat orang menjadi miskin, tapi juga perkembangan yang tak terduga. Misalnya, kondisi tubuh [sakit, cacat dan gila] serta faktor-faktor lain yang bersifat eksternal [penjajahan dan penjarahan]. Tetapi, orang miskin masih tetap memiliki kebutuhan yang sama seperti manusia lainnya dalam masyarakat. Sayangnya, karena negara dan masyarakat tidak lagi mengurusi mereka dengan tidak memberikan sarana untuk mendapatkan kebutuhan dan mematahkan ikatan-ikatan keluarga mereka maka kemiskinan itu membuat mereka tidak lagi mendapatkan keuntungan apa pun dari negara dan masyarakat. Negara juga membuat mereka tidak mendapatkan pendidikan ataupun kesempatan untuk menguasai keterampilan, atau kesempatan untuk mendapatkan keadilan. Padahal hidup bagi mereka, tidak hanya dalam artian bahan-bahan publik harus dipenuhi sehari-hari tapi juga harus mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul karena sifat pemalas, sikap culas dan perangai buruk lainnya dalam diri mereka yang timbul karena mereka merasa bahwa penderitaan yang menimpa diri mereka dirasa tidak adil.”

Refleksinya dengan demikian menunjukkan dengan jelas bahwa kaum miskin memiliki dua kendala dalam mendapatkan kekayaan. Yaitu kultural dan struktural. Karena itu, mereka bergabung, bergerak dan melakukan upaya kemerdekaan dengan menciptakan negara yang dipersangkakan menuju cita-cita bersama mereka. Dan, tujuan utamanya adalah menciptakan kesejahteraan, di samping cita-cita mulia lainnya.

Negara kita sejak awal didirikan sampai sekarang dengan demikian adalah sebagai ”tujuan” sekaligus ”alat” yang ditugasi bekerja buat rakyat. Negara menjadi mesin dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Inilah epistema ilmu ekonomi-politik kita sejak mencita-citakan kemerdekaan abadi yang kemudian melahirkan negara serta meneguhkan keberadaan negara di masa kini.

Indonesia dengan demikian adalah konsepsi politik yang dasar strukturnya itu sendiri, memberikan jaminan bagi kepentingan beberapa kelas tertindas, di mana pemberian jaminan ini sebenarnya merugikan bagi kepentingan jangka pendek dari kelas dominan dari kolonial Belanda, Portugis dan Jepang. Tapi selaras dengan kepentingan  politik kelas kapitalis dan dengan kebutuhan untuk mempertahankan dominasi hegemonis mereka maka sejarah negara kemudian menunjukan bahwa negara hanyalah sarana dari kelas tertentu untuk mendapatkan kekuasaan, dan bukan negara yang mengelola sebuah masyarakat yang terbagi-bagi menjadi beberapa kelas. Karena itu, yang paling terlayani kemudian adalah kelas borjuasi yang kaya dan makin kaya.

Padahal, hal yang paling konkrit dan masuk akal serta bisa dikatakan tentang negara mestinya adalah hadirnya rasa etis sehingga menjadi landasan negara etis (ethical state). Dengan etik ini semua negara bisa dikatakan sebagai bersifat etis bila salah satu fungsi yang  paling penting dari negara  adalah untuk meningkatkan taraf budaya dan moral dari masyarakat luas agar sesuai dengan kebutuhan dari daya-daya produksi (production forces) dalam pembangunan (development). Daya produksi dan pembangunan ini dikordinasi oleh penguasa/pemerintah sehingga banyak produksinya sesuai dengan kepentingan dari penguasa/pemerintah. Sayangnya, kelas penguasa/pemerintah inilah yang sering lupa pada amanat dan tanggungjawab kekuasaannya. Mereka terjebak untuk melanggengkan kekuasaan sendiri kemudian menjadi pelayan bagi kelas borjuasi saja.

Karena itu, tak ada pilihan lagi bagi kita semua untuk merumahkan kembali gagasan ilmu ekonomi-politik ke asal mula dilecutkan di bumi Indonesia. Ia dilahirkan di negara Indonesia untuk membantu menuntaskan cita-cita negara kita. Cara merumahkannya tentu saja adalah mengingat kembali bahwa; Pertama, ilmu ekonomi-politik kita tujuannya adalah kemakmuran seluruh rakyat, bukan orang per orang dan golongan/kelas tertentu. Ini yang membedakannya dengan tujuan ilmu ekonomi-politik kapitalis yang mementingkan keuntungan kelas elit/golongan tertentu dengan menggunakan pendekatan teori "menetes" bukan merata. Dengan teori menetes, tentu saja hanya dapat dilakukan oleh mereka yang kaya. Dan, tetesannya ke arah mereka yang miskin sehingga tidak akan cepat merata karena jumlah orang kaya selalu lebih sedikit dibandingkan kelas orang miskin.

Kedua, adalah kewajiban keterlibatan dan partisipasi rakyat banyak baik dalam proses produksi maupun dalam menikmati hasil-hasilnya. Ketiga, konsistensi para aparatus negara untuk bersama merealisasikan cita-cita dasar dari ilmu ekonomi-politik kita. Inilah tiga ciri khas ilmu ekonomi-politik kita sebagai tujuan suci dari demokrasi Pancasila.

Ketiga prasyarat pokok tersebut menentukan sifat dari alokasi sumberdaya. Sifat pertama adalah adanya suatu mekanisme untuk mempertinggi kemakmuran. Kedua, adalah adanya suatu mekanisme agar penguasaan faktor produksi dan konsumsi lebih tersebar kepada seluruh rakyat. Dua hal inilah yang menentukan derajat pendemokrasian ekonomi [dalam hal ini demokrasi yang memihak rakyat banyak].

Sebab, madzab ini sesungguhnya adalah pesan dasar kemerdekaan Indonesia yang dibacakan 64 yang lalu. Sebab—mengutip ekonom Revrison Baswir [2008]—bagi Bung Karno dan Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Usaha untuk membuat masyarakat menjadi sejahtera. Merdeka, kata Bung Karno tidak cukup hanya terbebas dari belenggu politik tetapi juga dari belenggu ekonomi. Singkatnya bukan hanya ”merdeka dari,” tetapi juga ”merdeka untuk.”

Sedang bagi Bung Hatta, merdeka secara politik diartikan sebagai pintu untuk menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi. Artinya, perbaikan kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari warisan perekonomian yang berwatak kolonial menjadi perekonomian berwatak nasional. Yang dimaksud dengan ekonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.

Ungkapan konsepsional ini kemudian dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 33 UUD45 mengenai ’demokrasi ekonomi’. Hatta [1960] mengingatkan bahwa, ”demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi semua lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia Indonesia.

Bung Karno kemudian menunjukkan pijakan perjuangan kita dengan mengatakan bahwa, kemerdekaan politik tidaklah berarti buat kita jika negara ini masih melakukan empat hal. Pertama, kita masih mengekspor bahan baku produksi. Kedua, pemerintah masih mengimpor hasil produksi. Ketiga, bertahannya kebijakan mengekspor tenaga buruh. Keempat, dilanjutkannya keharusan mengimpor tenaga ahli dalam proyek-proyek pembangunan. Kelima, tanpa sadar kita masih menggunakan sistem dan paradigma asing dalam pembangunan dan pembudidayaan ekonomi-politik.

Pikiran-pikiran Bung Karno dan Hatta ini kemudian menghasilkan konsepsi ekonomi-politik yang tertuang dalam UUD45. Selanjutnya kita sadar bahwa UUD45 memiliki paradigma ekonomi-politiknya sendiri yang membedakannya dengan ekonomi-politik lain yaitu:  tidak free fight liberalism, bukan sistem etatisme serta tidak melakukan pemusatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli-oligopoli yang merugikan masyarakat-negara. Konsepsi itu disebut sistem ekonomi Pancasila yang bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 27 [2], 33-34 UUD45.  Inilah inti dasar dari demokrasi ekonomi kita.

Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara—politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya—adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini sekaligus sebagai tujuan akhir [core values] dan alat ukur yang khas terhadap jalannya pemerintahan kita. Bahkan arah dan ”guide” bagi siapa saja yang menghuni negara Indonesia.

Sistem ekonomi Pancasila ini diperjelas lagi dengan pasal 27 [2] berbunyi; Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian, pasal 33 berbunyi; [1] Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. [2] Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. [3] Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lalu, dalam penjelasan pasal 33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedang pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara [diberdayakan] oleh negara.

Singkatnya, sayup-sayupnya gerakan demokrasi ekonomi harus dijadikan ajakan bagi kita untuk sadar sejarah. Sebuah kesadaran yang mengharsukan kita melakukan tiga hal. Pertama, mempertahankan dan memperjelas dengan membuat eksplisit rumusan konstitusional bagi perimbangan tiga poros kekuatan: negara, pasar dan rakyat. Herry B-Priyono [2005] menyebut, ”adalah naif untuk tidak memakai sistem pasar bagi kegiatan ekonomi, namun juga naif menyerahkan seluruh proses ekonomi kepada sistem pasar.” Hal yang sama juga berlaku bagi peran negara dan proses ekonomi komuniter dalam rupa koperasi. Dalam aksis (axis) historis dewasa ini, urgensi bagi klarifikasi perimbangan itu terletak dalam upaya mempertahankan poros komunitas dan sektor publik, di mana kapasitas negara adalah salah satu unsurnya. Di sinilah dibutuhkan tata kelola trias ekonomikus yang menyeimbangkan negara, pasar dan rakyat tanpa mendominasikan satu sektor atas sektor lainnya.

Kedua, menempatkan kembali Pancasila dan UUD45 sebagai cita-cita, arah perjuangan dan evaluasi kebijakan tiap pemerintahan. Karena itu, ‘masa depan rakyat’ harus menjadi variabel sentral dalam bangun ekonomi-politik. Rakyat yang merdeka secara politik, tak akan ada manfaatnya tanpa mendapatkan kemerdekaan ekonomi. Rakyat yang demokratis dalam pemilu, tak akan ada manfaatnya tanpa demokrasi dalam bangunan ekonomi. Ketiga, menemukan aktor yang sadar, paham dan mau melaksanakan konsepsi demokrasi ekonomi-politik kita. Sebab, aktor merupakan sumber perubahan yang utama dalam suatu bangsa.

Demokrasi Kok Miskin


Pertanyaan di atas sepertinya relevan dikemukakan di tengah perdebatan angka-angka kemiskinan yang hari-hari ini menghiasi media. Bapenas (2006) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, Bapenas  menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri [Joseph F. Stepanek, (ed), 1985].
Singkatnya, dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan, (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produksi, (3) kurangnya kemampuan membaca-menulis, (4) ketiadaan jaminan kesejahteraan hidup [tabungan/asuransi], (5) upah [UMR] yang rendah, (6) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas, dan (7) ketiadaan kesempatan untuk aktualisasi.
Lalu apa artinya itu semua? Ternyata, ketujuh indikator ini masih dominan dalam masyarakat kita. Secara umum, masyarakat kita setelah gegar reformasi justru terpuruk pada ekonomi yang sangat rendah. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh pemerintahan hasil pemilu demokratis belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan kita masih berpusing-pusing menikmati dan memperpanjang transisi serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat yang menjauhi rakyat.

Tujuan Ekonomi Makro
          Ada empat tujuan yang ingin dicapai kebijakan ekonomi makro. Secara garis besar, keempat tujuan itu ialah (1) output atau pendapatan nasional riil yang tinggi dan terus meningkat, (2) tingkat kesempatan kerja yang tinggi dan pengangguran yang rendah sehingga akan mengurangi kemiskinan, (3) tingkat harga-harga yang stabil atau naik secara perlahan-lahan, dan (4) perdagangan internasional yang kuat ditandai dengan kurs valuta asing yang stabil dan nilai ekspor dan impor yang seimbang.
          Agar tercapai keempat tujuan tersebut, pemerintah dapat menggunakan instrumen kebijakan fiskal, yakni belanja negara dan perpajakan. Belanja negara akan mempengaruhi permintaan agregat melalui konsumsi pemungutan pajak yang akan mengurangi pendapatan sehingga akan mengurangi pengeluaran perorangan. Secara bersamaan konsumsi dan pajak juga mempengaruhi penanaman modal dan output potensial. Dengan demikian, kebijakan fiskal selalu berakibat pada tingkat pengeluaran total dan akhirnya mempengaruhi GNP riil.
          Instrumen kedua ialah kebijakan moneter yang menjadi otoritas Bank Indonesia (BI). Kebijakan moneter pada prinsipnya ialah untuk menentukan jumlah uang beredar dengan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Biasanya perubahan jumlah uang beredar akan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga, serta mempengaruhi jumlah pengeluaran untuk barang-barang modal seperti mesin atau bangunan. Kebijakan moneter, dengan demikian, berperan penting baik terhadap GNP aktual maupun GNP potensial.
          Instrumen ketiga ialah kebijakan ekonomi internasional. Dalam hal ini pemerintah dan BI dapat mengintervensi kegiatan perdagangan internasional. Kebijakan-kebijakan tersebut biasanya juga bisa digunakan untuk mempertahankan keseimbangan pasar valuta asing. Sementara instrumen keempat ialah kebijakan pendapatan oleh pemerintah untuk mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Misalnya melalui ketentuan upah minimum dan harga produk tertentu untuk menaikkan pendapatan ataupun untuk menekan laju inflasi.
          Melihat uraian konsep teoretis tersebut, jelaslah bahwa membaiknya indikator ekonomi yang terjadi saat ini hanyalah semata-mata sasaran antara. Sedangkan sasaran utama yang sebenarnya dapat merupakan tolok ukur keberhasilan suatu pemerintahan dalam menyelenggarakan perekonomian negara adalah berkurangnya "tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan."  
          Banyak pihak yang menengarai, tidak nyambungnya penguatan ekonomi dengan sektor riil dikarenakan "perbaikan" hanya di bisnis finansial, yaitu pasar portofolio (saham dan obligasi) dan pasar uang. Di samping itu, kesenjangan tampaknya disebabkan pula oleh melemahnya tiga sektor utama yang di masa lalu memberikan kontribusi paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni sektor pertanian, perdagangan, dan industri manufaktur.
          Pertanian yang pada 2004 memiliki kontribusi sekitar 16% terhadap PDB turun jadi 13,4% pada tahun 2005. Perdagangan yang memiliki kontribusi 16,9% terhadap PDB pada 2004,  turun jadi 15,7% tahun 2005. Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB pun turun dari 30,1% tahun 2004 menjadi 28,1% pada tahun 2005. Penurunan produktivitas pada sektor pertanian yang menyerap hampir 45 persen dari angkatan kerja sebenarnya harus diikuti oleh peningkatan kinerja sektor perdagangan dan manufaktur, sehingga tenaga kerja beralih ke sektor perdagangan dan manufaktur.  Sayangnya kenyataan demikian tidak terjadi. Penurunan produktivitas sektor pertanian justru berbarengan dengan melemahnya sektor perdagangan dan industri manufaktur.
          Sedihnya, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian stagnan. Sebaliknnya produktivitas sektor ini mengalami kemerosotan. Akibatnya tingkat kesejahteraan masyarakat pun menjadi semakin memburuk. Ujungnya adalah  menambah kemiskinan, terutama di pedesaan.  
            Hari ini, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baru berorientasi pada stabilitas makro-ekonomi. Sedangkan sasaran utama berupa pengurangan pengangguran-kemiskinan belumlah terwujud. Padahal kedua sasaran itu merupakan bagian dari sembilan prioritas pembangunan yang dicanangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007.  
          Tiga tahun tersisa kekuasaan pemerintahanh SBY-JK,  kerja keras harus dilakukan bila tidak ingin dikatakan gagal dalam mengemban kepercayaan rakyat. Jadi, walaupun di tingkat politik, negeri ini dipimpin pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu relatif demokratis tetapi belum mampu mengurangi problem utama masyarakatnya; pengangguran, kekerasan dan kemiskinan.

Beyond Reformasi


Saatnya melakukan transformasi negara. Inilah sebenarnya pesan utama reformasi 1998. Negara transformatif, kata Stiglitz [2001], adalah negara yang dalam perspektif pembangunannya menjadi aktif dalam kebijakan ekonomi dan menguatkan sambil mempromosikan industri nasional, pembangunan teknologi, dan jaminan sosial yang tidak bisa dicapai melalui mekanisme pasar liberal. Negara transformatif juga melakukan nasionalisasi asset produksi strategis yang diperuntukkan bagi rakyat banyak, menjauhi praktek privatisasi sambil mengelola pasar liberal menjadi pasar sosial.
            Mengapa negara harus melakukan transformasi menjadi pelaku aktif? Jawabannya karena di penghujung kekuasaan Orde Baru, ekonomi  konglomerasilah yang dipilih pemerintah. Sebuah pilihan yang menghasilkan kebijakan BLBI sehingga menghasilkan efek lanjut berupa krisis ekonomi berkepanjangan. Saat yang bersamaan, kita dihempas oleh sapuan globalisasi. Sebuah energi pasar liberal yang mengandung satu lompatan kualitas perluasan kekuasaan ekonomi-politik seperti yang telah berlangsung berabad-abad. Sebuah perluasan yang didorong oleh persaingan antar fraksi di tengah kelas berkuasa untuk memperebutkan kekuasaan dan hak eksploitasi atas rakyat miskin.
            Kita menyadari bahwa globalisasi hanyalah satu bentuk yang lebih dahsyat dari imperialisme kuno. Sebab, ia memberi dimensi penghisapan yang lebih kuat pada penghancuran lingkungan. Ia juga menghadirkan perang sebagai cara menciptakan "pasar baru." Karena itu, kita menjadi sulit memercayai kenyataan bahwa negara besar seperti AS, di abad ke-21 yang katanya beradab ini, tanpa alasan yang jelas menyerang dan menduduki negara Irak. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi kecuali karena Irak kaya minyak, ladang SDA sekaligus pasar baru. Akibatnya, kekerasan dan peperangan serta kesenjangan antar-bangsa yang ditimbulkannya menjadi jauh lebih besar, lebih lebar.
            Sejarah mencatat bahwa kekayaan yang diakumulasi di Eropa diambil dari SDA di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Karena itu, tanpa perusakan industri tekstil India yang kaya, tanpa pengambilalihan perdagangan rempah-rempah, tanpa pembunuhan besar-besaran terhadap suku asli Amerika, tanpa perbudakan terhadap orang-orang Afrika, revolusi industri tidak akan mendatangkan kekayaan bagi Eropa maupun Amerika Serikat [Manurung, 2002].
            Tentu saja, peristiwa tersebut merupakan pengambilalihan SDA dan pasar lokal secara paksa di negara-negara Selatan sehingga membuat kaya negara-negara Utara. Suatu proses berkelanjutan yang menciptakan kemiskinan di negara-negara Selatan. Sejarah negara-negara Utara yang kaya atau saat ini disebut sebagai negara maju adalah sejarah imperialisme yang mempromosikan demokrasi. Dengan demokrasi yang kuat sehingga menghasilkan negara kuat [strong state] mereka melakukan penetrasi ekonomi-politik terhadap negara lain. Karena itu, hipotesa bahwa peran negara menjadi sangat penting untuk mencapai kekayaan dan kesejahteraan seperti yang dicapainya sekarang, terbukti di lapangan [DeSoto, 2003].
            Negara Inggris misalnya, pada abad ke-16, menerapkan proteksi terhadap industri wool-nya sehingga mereka menjadi negara produsen wool terbesar di jamannya. Kebijakan proteksionistis itu berlangsung sampai abad ke-19 ketika Inggris mulai meliberalisasi pasarnya. Pada saat itu, Inggris telah menjadi negara industri yang dominan. Amerika Serikat pun menunjukkan sejarah yang sama. Bahkan sebagian alasan terjadinya Civil War adalah perihal perselisihan tentang tarif antara negara-negara bagian di utara dan selatan. Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan dunia yang dominan pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim pasar liberal.
            Karena itu, negara-negara Selatan menjadi miskin bukan karena mereka malas, birokrasi yang inefesien atau pemerintah mereka korup. Mereka miskin karena kekayaan mereka diambilalih, kemampuan mereka untuk menciptakan kekayaan dimusnahkan serta pasar sosial mereka dirusak dengan pasar liberal.          

Reformasi adalah Transformasi Negara
            Negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dalam suatu komunitas politik yang berkedudukan sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan serta dalam naungan filosofi kekeluargaan. Sedang reformasi adalah usaha nalar sadar waktu sekaligus wahyu untuk selalu memperbaiki pembangunan di masa lalu yang salah sambil meneruskan yang benar.
            Sayangnya, pasca sembilan tahun reformasi kita jalankan, yang hadir di tengah rakyat justru non government individual. Sebuah keadaan absennya negara sehingga melahirkan semangat warga biasa yang mengambil alih langkah-langkah negara dalam melakukan gerakan kemanusiaan, pembangunan bahkan ketertiban [BBC, 4/6/06].
            Karena alasan itulah, debat tentang peranan negara dalam pasar liberal, menjadi penting dilakukan. Apalagi, ketika pemerintah kita kini dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan kondisi yang seperti itu, mereka memiliki legitimasi yang jauh lebih kuat untuk mengambil langkah strategis sekaligus tanggung jawab menyangkut keberhasilan dan kegagalan negara dan pemerintahannya. Mereka diharapkan mampu menjabarkan secara konkret konstitusi ke dalam tindakan-tindakan yang berpihak kepada rakyat (affirmative actions policy).
            Sungguh sayang jika demokrasi dan reformasi yang telah susah payah kita perjuangkan hanya diisi oleh program koalisi konglomerat politik dan konglomerat ekonomi. Konglomerat politik adalah mereka yang merasa punya kekuasaan penuh karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga anti kritik dan banyak tebar pesona. Konglomerat ekonomi [kita] adalah pelaku ekonomi yang hanya mengandalkan proyek dari pemerintah dengan cara KKN, bukan karena capaian-capaian bisnis yang panjang dan kuat.
            Singkatnya, untuk menjadi konglomerat politik, ia harus pandai merangkul konglomerat ekonomi sehingga melahirkan kebijakan pro-konglomerat, bukan pro-rakyat. Lahirlah politik kapitalis dan kapitalis politik. Sebuah adonan dan efek samping dari demokrasi liberal yang berbiaya tinggi sehingga harus kita jauhi.
            Di sinilah logika transformasi negara dan para pelakunya menemukan argumentasinya. Sebuah perilaku transformatif yang membangun semangat konsensus ekonomi-politik dan bukan pada kontrak ekonomi-politik. Semangat konsensus ekonomi-politik mengangankan diembannya secara bersama hal-hal terburuk yang menimpa negara ini apabila sampai terjadi sesuatu yang di luar kehendak bersama. Suatu semangat yang antisipatif dengan mengambil nilai terendah dari tindakan. Artinya, kesuksesan memang tujuan, tetapi ketidaksuksesan juga harus ditanggung bersama [ringan sama dijinjing, berat sama dipikul].
            Transformasi negara dengan demikian memberi pesan jelas pada kita; kuatkan negaramu, baru panggil pasar [liberal] semaumu. Kuatkan kapasitas pemerintahanmu, baru kita masuk arena global dengan menegakkan dada. Inilah pesan reformasi yang masih dapat kita perjuangkan.

Spanduk DKI Pembinaan


Spanduk Pembinaan Internal

Cuma Tes Postingan

Contoh Spanduk DKI
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. NUSANTARA CENTRE - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger