Home » , » Desain Demokrasi

Desain Demokrasi

Written By BloGGGQue on Senin, 24 September 2012 | 19.50


Debat ekonomi macam apakah yang akan dijalankan capres dan cawapres pada pilpres 2009 begitu mengemuka. Ini menarik sekaligus menyenangkan. Tetapi, senang tak cukup dengan mendengar janji mereka. Agar bisa ikut ”urun rembug” marilah kita diskusikan bersama sebagai diskursus besar bagi kemandirian dan kemoderenan Indonesia.

Demokrasi ekonomi-politik sesungguhnya menjadi tujuan pembangunan Indonesia. Yaitu  membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, seluruh pembangunan ekonomi-politik kita pun haruslah berlandaskan Pancasila. Pemikiran dan tindakan yang ingin kita bangun harus berdasar, bertujuan, dan berpedoman dalam penyelenggaraannya sebagai manifestasi ekonomi-politik Pancasila. Dalam arti singkat, ekonomi-politik Pancasila adalah ilmu dan cara berekonomi-politik menurut sila-sila dalam Pancasila; yaitu ilmu ekonomi-politik dan praktik berekonomi-politik yang berketuhanan yang maha esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, mementingkan persatuan Indonesia, menggunakan asas musyawarah, dan berujung pada berkeadilan sosial bagi semua masyarakat.

Kita sadar bahwa permasalahan yang terus menggerogoti Indonesia adalah kemiskinan sebagai problem yang telah lama menyatu dengan kondisi sosial masyarakat. Di masa Orde Lama kemiskinan tidak sempat diprioritaskan untuk diselesaikan karena pemerintah sibuk membangun politik. Masa Orde Baru, kemiskinan menjadi target utama yang harus diselesaikan lewat pembangunan ekonomi. Masa Orde Reformasi, kemiskinan jadi musuh utama masyarakat. Sayangnya, usaha-usaha pengentasan kemiskinan terhambat dan tidak dapat dilanjutkan karena krisis ekonomi dan proses reformasi serta penerapan ekonomi-politik neo-liberal yang anti rakyat. Akhirnya kemiskinan kini bukannya berkurang, sebaliknya bertambah luas.

Di tengah kekacauan tersebut, jelas tidak akan mudah untuk mengembangkan kembali konsep ekonomi-politik Pancasila, karena sebagai konsep ekonomi-politik dan konsep pembangunan harus memenuhi berbagai syarat. Di samping idealisme atau pandangan-pandangan yang normatif, harus juga memenuhi kaidah-kaidah ilmiah,  sehingga ada asas-asas objektif dan rasional yang dapat dikembangkan.


Dalam perjalanannya nanti kita dengan sadar mengatakan bahwa dasar ilmu ekonomi-politik kita adalah demokrasi ekonomi sekaligus demokrasi politik. Penjabarannya kemudian menjadi ilmu ekonomi-politik yang berangkat dari manajemen ekonomi negara yang berbasis kekeluargaan-kegotongroyongan [one for all, all for one. bhineka tunggal ika tan hanna dharma mangrwa]. Dus, merefleksikan kembali gagasan ini menjadi penting agar negara dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan penduduk karena kemampuan dari individu-individunya tidak mampu memenuhi kebutuhannya dengan sendiri. Pandangan ini dimaksudkan sebagai sintesa dari pandangan Weber [1958] yang menulis bahwa, ”manusia didominasi oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Tetapi, ia tetaplah tidak akan mampu memenuhinya jika tidak ada motif, etika dan hukum yang melindungi persaingan mereka.” Singkatnya, menjadi kaya adalah tujuan hidup semua orang, keluar dari perangkap kemiskinan adalah dambaan setiap manusia. Terbebas dari kekurangan adalah impian setiap orang.

Argumen di atas juga dikuatkan oleh hipotesa Hegel [1821] yang menulis bahwa, ”bukan cuma kesalahan dalam mengambil keputusan saja yang bisa membuat orang menjadi miskin, tapi juga perkembangan yang tak terduga. Misalnya, kondisi tubuh [sakit, cacat dan gila] serta faktor-faktor lain yang bersifat eksternal [penjajahan dan penjarahan]. Tetapi, orang miskin masih tetap memiliki kebutuhan yang sama seperti manusia lainnya dalam masyarakat. Sayangnya, karena negara dan masyarakat tidak lagi mengurusi mereka dengan tidak memberikan sarana untuk mendapatkan kebutuhan dan mematahkan ikatan-ikatan keluarga mereka maka kemiskinan itu membuat mereka tidak lagi mendapatkan keuntungan apa pun dari negara dan masyarakat. Negara juga membuat mereka tidak mendapatkan pendidikan ataupun kesempatan untuk menguasai keterampilan, atau kesempatan untuk mendapatkan keadilan. Padahal hidup bagi mereka, tidak hanya dalam artian bahan-bahan publik harus dipenuhi sehari-hari tapi juga harus mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul karena sifat pemalas, sikap culas dan perangai buruk lainnya dalam diri mereka yang timbul karena mereka merasa bahwa penderitaan yang menimpa diri mereka dirasa tidak adil.”

Refleksinya dengan demikian menunjukkan dengan jelas bahwa kaum miskin memiliki dua kendala dalam mendapatkan kekayaan. Yaitu kultural dan struktural. Karena itu, mereka bergabung, bergerak dan melakukan upaya kemerdekaan dengan menciptakan negara yang dipersangkakan menuju cita-cita bersama mereka. Dan, tujuan utamanya adalah menciptakan kesejahteraan, di samping cita-cita mulia lainnya.

Negara kita sejak awal didirikan sampai sekarang dengan demikian adalah sebagai ”tujuan” sekaligus ”alat” yang ditugasi bekerja buat rakyat. Negara menjadi mesin dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Inilah epistema ilmu ekonomi-politik kita sejak mencita-citakan kemerdekaan abadi yang kemudian melahirkan negara serta meneguhkan keberadaan negara di masa kini.

Indonesia dengan demikian adalah konsepsi politik yang dasar strukturnya itu sendiri, memberikan jaminan bagi kepentingan beberapa kelas tertindas, di mana pemberian jaminan ini sebenarnya merugikan bagi kepentingan jangka pendek dari kelas dominan dari kolonial Belanda, Portugis dan Jepang. Tapi selaras dengan kepentingan  politik kelas kapitalis dan dengan kebutuhan untuk mempertahankan dominasi hegemonis mereka maka sejarah negara kemudian menunjukan bahwa negara hanyalah sarana dari kelas tertentu untuk mendapatkan kekuasaan, dan bukan negara yang mengelola sebuah masyarakat yang terbagi-bagi menjadi beberapa kelas. Karena itu, yang paling terlayani kemudian adalah kelas borjuasi yang kaya dan makin kaya.

Padahal, hal yang paling konkrit dan masuk akal serta bisa dikatakan tentang negara mestinya adalah hadirnya rasa etis sehingga menjadi landasan negara etis (ethical state). Dengan etik ini semua negara bisa dikatakan sebagai bersifat etis bila salah satu fungsi yang  paling penting dari negara  adalah untuk meningkatkan taraf budaya dan moral dari masyarakat luas agar sesuai dengan kebutuhan dari daya-daya produksi (production forces) dalam pembangunan (development). Daya produksi dan pembangunan ini dikordinasi oleh penguasa/pemerintah sehingga banyak produksinya sesuai dengan kepentingan dari penguasa/pemerintah. Sayangnya, kelas penguasa/pemerintah inilah yang sering lupa pada amanat dan tanggungjawab kekuasaannya. Mereka terjebak untuk melanggengkan kekuasaan sendiri kemudian menjadi pelayan bagi kelas borjuasi saja.

Karena itu, tak ada pilihan lagi bagi kita semua untuk merumahkan kembali gagasan ilmu ekonomi-politik ke asal mula dilecutkan di bumi Indonesia. Ia dilahirkan di negara Indonesia untuk membantu menuntaskan cita-cita negara kita. Cara merumahkannya tentu saja adalah mengingat kembali bahwa; Pertama, ilmu ekonomi-politik kita tujuannya adalah kemakmuran seluruh rakyat, bukan orang per orang dan golongan/kelas tertentu. Ini yang membedakannya dengan tujuan ilmu ekonomi-politik kapitalis yang mementingkan keuntungan kelas elit/golongan tertentu dengan menggunakan pendekatan teori "menetes" bukan merata. Dengan teori menetes, tentu saja hanya dapat dilakukan oleh mereka yang kaya. Dan, tetesannya ke arah mereka yang miskin sehingga tidak akan cepat merata karena jumlah orang kaya selalu lebih sedikit dibandingkan kelas orang miskin.

Kedua, adalah kewajiban keterlibatan dan partisipasi rakyat banyak baik dalam proses produksi maupun dalam menikmati hasil-hasilnya. Ketiga, konsistensi para aparatus negara untuk bersama merealisasikan cita-cita dasar dari ilmu ekonomi-politik kita. Inilah tiga ciri khas ilmu ekonomi-politik kita sebagai tujuan suci dari demokrasi Pancasila.

Ketiga prasyarat pokok tersebut menentukan sifat dari alokasi sumberdaya. Sifat pertama adalah adanya suatu mekanisme untuk mempertinggi kemakmuran. Kedua, adalah adanya suatu mekanisme agar penguasaan faktor produksi dan konsumsi lebih tersebar kepada seluruh rakyat. Dua hal inilah yang menentukan derajat pendemokrasian ekonomi [dalam hal ini demokrasi yang memihak rakyat banyak].

Sebab, madzab ini sesungguhnya adalah pesan dasar kemerdekaan Indonesia yang dibacakan 64 yang lalu. Sebab—mengutip ekonom Revrison Baswir [2008]—bagi Bung Karno dan Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Usaha untuk membuat masyarakat menjadi sejahtera. Merdeka, kata Bung Karno tidak cukup hanya terbebas dari belenggu politik tetapi juga dari belenggu ekonomi. Singkatnya bukan hanya ”merdeka dari,” tetapi juga ”merdeka untuk.”

Sedang bagi Bung Hatta, merdeka secara politik diartikan sebagai pintu untuk menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi. Artinya, perbaikan kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari warisan perekonomian yang berwatak kolonial menjadi perekonomian berwatak nasional. Yang dimaksud dengan ekonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.

Ungkapan konsepsional ini kemudian dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 33 UUD45 mengenai ’demokrasi ekonomi’. Hatta [1960] mengingatkan bahwa, ”demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi semua lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia Indonesia.

Bung Karno kemudian menunjukkan pijakan perjuangan kita dengan mengatakan bahwa, kemerdekaan politik tidaklah berarti buat kita jika negara ini masih melakukan empat hal. Pertama, kita masih mengekspor bahan baku produksi. Kedua, pemerintah masih mengimpor hasil produksi. Ketiga, bertahannya kebijakan mengekspor tenaga buruh. Keempat, dilanjutkannya keharusan mengimpor tenaga ahli dalam proyek-proyek pembangunan. Kelima, tanpa sadar kita masih menggunakan sistem dan paradigma asing dalam pembangunan dan pembudidayaan ekonomi-politik.

Pikiran-pikiran Bung Karno dan Hatta ini kemudian menghasilkan konsepsi ekonomi-politik yang tertuang dalam UUD45. Selanjutnya kita sadar bahwa UUD45 memiliki paradigma ekonomi-politiknya sendiri yang membedakannya dengan ekonomi-politik lain yaitu:  tidak free fight liberalism, bukan sistem etatisme serta tidak melakukan pemusatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli-oligopoli yang merugikan masyarakat-negara. Konsepsi itu disebut sistem ekonomi Pancasila yang bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 27 [2], 33-34 UUD45.  Inilah inti dasar dari demokrasi ekonomi kita.

Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara—politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya—adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini sekaligus sebagai tujuan akhir [core values] dan alat ukur yang khas terhadap jalannya pemerintahan kita. Bahkan arah dan ”guide” bagi siapa saja yang menghuni negara Indonesia.

Sistem ekonomi Pancasila ini diperjelas lagi dengan pasal 27 [2] berbunyi; Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian, pasal 33 berbunyi; [1] Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. [2] Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. [3] Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lalu, dalam penjelasan pasal 33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedang pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara [diberdayakan] oleh negara.

Singkatnya, sayup-sayupnya gerakan demokrasi ekonomi harus dijadikan ajakan bagi kita untuk sadar sejarah. Sebuah kesadaran yang mengharsukan kita melakukan tiga hal. Pertama, mempertahankan dan memperjelas dengan membuat eksplisit rumusan konstitusional bagi perimbangan tiga poros kekuatan: negara, pasar dan rakyat. Herry B-Priyono [2005] menyebut, ”adalah naif untuk tidak memakai sistem pasar bagi kegiatan ekonomi, namun juga naif menyerahkan seluruh proses ekonomi kepada sistem pasar.” Hal yang sama juga berlaku bagi peran negara dan proses ekonomi komuniter dalam rupa koperasi. Dalam aksis (axis) historis dewasa ini, urgensi bagi klarifikasi perimbangan itu terletak dalam upaya mempertahankan poros komunitas dan sektor publik, di mana kapasitas negara adalah salah satu unsurnya. Di sinilah dibutuhkan tata kelola trias ekonomikus yang menyeimbangkan negara, pasar dan rakyat tanpa mendominasikan satu sektor atas sektor lainnya.

Kedua, menempatkan kembali Pancasila dan UUD45 sebagai cita-cita, arah perjuangan dan evaluasi kebijakan tiap pemerintahan. Karena itu, ‘masa depan rakyat’ harus menjadi variabel sentral dalam bangun ekonomi-politik. Rakyat yang merdeka secara politik, tak akan ada manfaatnya tanpa mendapatkan kemerdekaan ekonomi. Rakyat yang demokratis dalam pemilu, tak akan ada manfaatnya tanpa demokrasi dalam bangunan ekonomi. Ketiga, menemukan aktor yang sadar, paham dan mau melaksanakan konsepsi demokrasi ekonomi-politik kita. Sebab, aktor merupakan sumber perubahan yang utama dalam suatu bangsa.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. NUSANTARA CENTRE - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger