Debat ekonomi
macam apakah yang akan dijalankan capres dan cawapres pada pilpres 2009 begitu
mengemuka. Ini menarik sekaligus menyenangkan. Tetapi, senang tak cukup dengan
mendengar janji mereka. Agar bisa ikut ”urun rembug” marilah kita diskusikan
bersama sebagai diskursus besar bagi kemandirian dan kemoderenan Indonesia.
Demokrasi
ekonomi-politik sesungguhnya menjadi tujuan pembangunan
Indonesia. Yaitu
membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan
demikian, seluruh pembangunan ekonomi-politik kita pun haruslah berlandaskan
Pancasila. Pemikiran dan tindakan yang ingin kita bangun harus berdasar, bertujuan,
dan berpedoman dalam penyelenggaraannya sebagai manifestasi ekonomi-politik
Pancasila. Dalam arti singkat, ekonomi-politik Pancasila adalah ilmu dan cara berekonomi-politik
menurut sila-sila dalam Pancasila; yaitu ilmu ekonomi-politik dan praktik
berekonomi-politik yang berketuhanan yang maha esa, berperikemanusiaan yang
adil dan beradab, mementingkan persatuan Indonesia, menggunakan asas
musyawarah, dan berujung pada berkeadilan sosial bagi semua masyarakat.
Kita sadar bahwa permasalahan yang terus menggerogoti Indonesia adalah
kemiskinan sebagai problem yang telah lama menyatu dengan kondisi sosial
masyarakat. Di masa Orde Lama
kemiskinan tidak sempat diprioritaskan untuk diselesaikan karena pemerintah
sibuk membangun politik. Masa Orde Baru, kemiskinan menjadi target utama yang
harus diselesaikan lewat pembangunan ekonomi. Masa Orde Reformasi, kemiskinan
jadi musuh utama masyarakat. Sayangnya, usaha-usaha pengentasan kemiskinan
terhambat dan tidak dapat dilanjutkan karena krisis ekonomi dan proses
reformasi serta penerapan ekonomi-politik neo-liberal yang anti rakyat.
Akhirnya kemiskinan kini bukannya berkurang, sebaliknya bertambah luas.
Di tengah
kekacauan tersebut, jelas tidak akan mudah untuk mengembangkan kembali konsep
ekonomi-politik Pancasila, karena sebagai konsep ekonomi-politik dan konsep
pembangunan harus memenuhi berbagai syarat. Di samping idealisme atau
pandangan-pandangan yang normatif, harus juga memenuhi kaidah-kaidah
ilmiah, sehingga ada asas-asas objektif
dan rasional yang dapat dikembangkan.
Dalam
perjalanannya nanti kita dengan sadar mengatakan bahwa dasar ilmu
ekonomi-politik kita adalah demokrasi ekonomi sekaligus demokrasi politik.
Penjabarannya kemudian menjadi ilmu ekonomi-politik yang berangkat dari
manajemen ekonomi negara yang berbasis kekeluargaan-kegotongroyongan [one
for all, all for one. bhineka tunggal ika tan hanna dharma mangrwa]. Dus,
merefleksikan kembali gagasan ini menjadi penting agar negara dipandang sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan penduduk karena kemampuan dari
individu-individunya tidak mampu memenuhi kebutuhannya dengan sendiri. Pandangan
ini dimaksudkan sebagai sintesa dari pandangan Weber [1958] yang menulis bahwa,
”manusia didominasi oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan sebagai tujuan
utama dalam hidupnya. Tetapi, ia tetaplah tidak akan mampu memenuhinya jika
tidak ada motif, etika dan hukum yang melindungi persaingan mereka.”
Singkatnya, menjadi kaya adalah tujuan hidup semua orang, keluar dari perangkap
kemiskinan adalah dambaan setiap manusia. Terbebas dari kekurangan adalah
impian setiap orang.
Argumen di atas juga
dikuatkan oleh hipotesa Hegel [1821] yang menulis bahwa, ”bukan cuma kesalahan
dalam mengambil keputusan saja yang bisa membuat orang menjadi miskin, tapi
juga perkembangan yang tak terduga. Misalnya, kondisi tubuh [sakit, cacat dan
gila] serta faktor-faktor lain yang bersifat eksternal [penjajahan dan
penjarahan]. Tetapi, orang miskin masih tetap memiliki kebutuhan yang sama
seperti manusia lainnya dalam masyarakat. Sayangnya, karena negara dan
masyarakat tidak lagi mengurusi mereka dengan tidak memberikan sarana untuk
mendapatkan kebutuhan dan mematahkan ikatan-ikatan keluarga mereka maka
kemiskinan itu membuat mereka tidak lagi mendapatkan keuntungan apa pun dari
negara dan masyarakat. Negara juga membuat mereka tidak mendapatkan pendidikan
ataupun kesempatan untuk menguasai keterampilan, atau kesempatan untuk
mendapatkan keadilan. Padahal hidup bagi mereka, tidak hanya dalam artian
bahan-bahan publik harus dipenuhi sehari-hari tapi juga harus mengatasi
kesulitan-kesulitan yang timbul karena sifat pemalas, sikap culas dan perangai
buruk lainnya dalam diri mereka yang timbul karena mereka merasa bahwa
penderitaan yang menimpa diri mereka dirasa tidak adil.”
Refleksinya
dengan demikian menunjukkan dengan jelas bahwa kaum miskin memiliki dua kendala
dalam mendapatkan kekayaan. Yaitu kultural dan struktural. Karena itu, mereka
bergabung, bergerak dan melakukan upaya kemerdekaan dengan menciptakan negara
yang dipersangkakan menuju cita-cita bersama mereka. Dan, tujuan utamanya
adalah menciptakan kesejahteraan, di samping cita-cita mulia lainnya.
Negara kita sejak
awal didirikan sampai sekarang dengan demikian adalah sebagai ”tujuan”
sekaligus ”alat” yang ditugasi bekerja buat rakyat. Negara menjadi mesin dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Inilah epistema ilmu ekonomi-politik kita
sejak mencita-citakan kemerdekaan abadi yang kemudian melahirkan negara serta
meneguhkan keberadaan negara di masa kini.
Indonesia dengan
demikian adalah konsepsi politik yang dasar strukturnya itu sendiri, memberikan
jaminan bagi kepentingan beberapa kelas tertindas, di mana pemberian jaminan
ini sebenarnya merugikan bagi kepentingan jangka pendek dari kelas dominan dari
kolonial Belanda, Portugis dan Jepang. Tapi selaras dengan kepentingan politik kelas kapitalis dan dengan kebutuhan
untuk mempertahankan dominasi hegemonis mereka maka sejarah negara kemudian
menunjukan bahwa negara hanyalah sarana dari kelas tertentu untuk mendapatkan
kekuasaan, dan bukan negara yang mengelola sebuah masyarakat yang terbagi-bagi
menjadi beberapa kelas. Karena itu, yang paling terlayani kemudian adalah kelas
borjuasi yang kaya dan makin kaya.
Padahal, hal yang
paling konkrit dan masuk akal serta bisa dikatakan tentang negara mestinya
adalah hadirnya rasa etis sehingga menjadi landasan negara etis (ethical
state). Dengan etik ini semua negara bisa dikatakan sebagai bersifat etis
bila salah satu fungsi yang paling
penting dari negara adalah untuk
meningkatkan taraf budaya dan moral dari masyarakat luas agar sesuai dengan
kebutuhan dari daya-daya produksi (production forces) dalam pembangunan
(development). Daya produksi dan pembangunan ini dikordinasi oleh
penguasa/pemerintah sehingga banyak produksinya sesuai dengan kepentingan dari
penguasa/pemerintah. Sayangnya, kelas penguasa/pemerintah inilah yang sering
lupa pada amanat dan tanggungjawab kekuasaannya. Mereka terjebak untuk
melanggengkan kekuasaan sendiri kemudian menjadi pelayan bagi kelas borjuasi
saja.
Karena itu, tak ada pilihan lagi bagi kita semua
untuk merumahkan kembali gagasan ilmu ekonomi-politik ke asal mula dilecutkan
di bumi Indonesia. Ia dilahirkan di negara Indonesia untuk membantu menuntaskan
cita-cita negara kita. Cara merumahkannya tentu saja adalah mengingat kembali
bahwa; Pertama, ilmu ekonomi-politik kita tujuannya adalah
kemakmuran seluruh rakyat, bukan orang per orang dan golongan/kelas tertentu.
Ini yang membedakannya dengan tujuan ilmu ekonomi-politik kapitalis yang
mementingkan keuntungan kelas elit/golongan tertentu dengan menggunakan
pendekatan teori "menetes" bukan merata. Dengan teori menetes,
tentu saja hanya dapat dilakukan oleh mereka yang kaya. Dan, tetesannya ke arah
mereka yang miskin sehingga tidak akan cepat merata karena jumlah orang kaya
selalu lebih sedikit dibandingkan kelas orang miskin.
Kedua, adalah kewajiban
keterlibatan dan partisipasi rakyat banyak baik dalam proses produksi maupun
dalam menikmati hasil-hasilnya. Ketiga, konsistensi para aparatus negara
untuk bersama merealisasikan cita-cita dasar dari ilmu ekonomi-politik kita.
Inilah tiga ciri khas ilmu ekonomi-politik kita sebagai tujuan suci dari
demokrasi Pancasila.
Ketiga prasyarat pokok tersebut menentukan sifat dari alokasi sumberdaya.
Sifat pertama adalah adanya suatu mekanisme untuk mempertinggi
kemakmuran. Kedua, adalah adanya suatu mekanisme agar penguasaan faktor
produksi dan konsumsi lebih tersebar kepada seluruh rakyat. Dua hal inilah yang
menentukan derajat pendemokrasian ekonomi [dalam hal ini demokrasi yang memihak
rakyat banyak].
Sebab, madzab ini
sesungguhnya adalah pesan dasar kemerdekaan Indonesia yang dibacakan 64 yang
lalu. Sebab—mengutip ekonom Revrison Baswir [2008]—bagi Bung Karno dan Bung
Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memang diniatkan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Usaha untuk membuat masyarakat menjadi sejahtera. Merdeka, kata Bung
Karno tidak cukup hanya terbebas dari belenggu politik tetapi juga dari
belenggu ekonomi. Singkatnya bukan hanya ”merdeka dari,” tetapi juga ”merdeka untuk.”
Sedang bagi Bung
Hatta, merdeka secara politik diartikan sebagai pintu untuk menggalang kekuatan
ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi. Artinya, perbaikan kondisi
ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia
dari warisan perekonomian yang berwatak kolonial menjadi perekonomian berwatak
nasional. Yang dimaksud dengan ekonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang
ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal
atau faktor-faktor produksi di tanah air.
Ungkapan
konsepsional ini kemudian dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 33 UUD45
mengenai ’demokrasi ekonomi’. Hatta [1960] mengingatkan bahwa, ”demokrasi
politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah
demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia
belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita
demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi semua lingkungan hidup
yang menentukan nasib manusia Indonesia.
Bung Karno
kemudian menunjukkan pijakan perjuangan kita dengan mengatakan bahwa,
kemerdekaan politik tidaklah berarti buat kita jika negara ini masih melakukan
empat hal. Pertama, kita masih mengekspor bahan baku produksi. Kedua,
pemerintah masih mengimpor hasil produksi. Ketiga, bertahannya kebijakan
mengekspor tenaga buruh. Keempat, dilanjutkannya keharusan mengimpor
tenaga ahli dalam proyek-proyek pembangunan. Kelima, tanpa sadar kita masih menggunakan sistem dan paradigma asing dalam pembangunan
dan pembudidayaan ekonomi-politik.
Pikiran-pikiran
Bung Karno dan Hatta ini kemudian menghasilkan konsepsi ekonomi-politik yang
tertuang dalam UUD45. Selanjutnya kita sadar bahwa UUD45 memiliki paradigma ekonomi-politiknya
sendiri yang membedakannya dengan ekonomi-politik lain yaitu: tidak free fight liberalism, bukan
sistem etatisme serta tidak melakukan pemusatan ekonomi pada satu
kelompok dalam bentuk monopoli-oligopoli yang merugikan
masyarakat-negara. Konsepsi itu disebut sistem ekonomi Pancasila yang bersumber
langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dan amanat pasal 27 [2], 33-34 UUD45. Inilah inti dasar dari demokrasi ekonomi kita.
Sila kelima ini
menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara—politik ekonomi,
hukum, sosial dan budaya—adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan
diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini sekaligus sebagai tujuan
akhir [core values] dan alat ukur yang khas terhadap jalannya
pemerintahan kita. Bahkan arah dan ”guide” bagi siapa saja yang menghuni negara
Indonesia.
Sistem ekonomi
Pancasila ini diperjelas lagi dengan pasal 27 [2] berbunyi; Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian,
pasal 33 berbunyi; [1] Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan. [2] Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. [3] Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Lalu, dalam
penjelasan pasal 33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi
ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat
diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi
ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai
oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa
dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai
hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat,
sebab itu harus dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sedang pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara [diberdayakan] oleh negara.
Singkatnya,
sayup-sayupnya gerakan demokrasi ekonomi harus dijadikan ajakan bagi kita untuk
sadar sejarah. Sebuah kesadaran yang mengharsukan kita melakukan tiga hal. Pertama,
mempertahankan dan memperjelas dengan membuat eksplisit rumusan konstitusional
bagi perimbangan tiga poros kekuatan: negara, pasar dan rakyat. Herry B-Priyono
[2005] menyebut, ”adalah naif untuk tidak memakai sistem pasar bagi kegiatan
ekonomi, namun juga naif menyerahkan seluruh proses ekonomi kepada sistem
pasar.” Hal yang sama juga berlaku bagi peran negara dan proses ekonomi
komuniter dalam rupa koperasi. Dalam aksis (axis) historis dewasa
ini, urgensi bagi klarifikasi perimbangan itu terletak dalam upaya
mempertahankan poros komunitas dan sektor publik, di mana kapasitas negara
adalah salah satu unsurnya. Di sinilah dibutuhkan tata kelola trias ekonomikus
yang menyeimbangkan negara, pasar dan rakyat tanpa mendominasikan satu sektor
atas sektor lainnya.
Kedua, menempatkan kembali Pancasila dan
UUD45 sebagai cita-cita, arah perjuangan dan evaluasi kebijakan tiap pemerintahan.
Karena itu, ‘masa depan rakyat’ harus menjadi variabel sentral dalam bangun
ekonomi-politik. Rakyat yang merdeka secara politik, tak akan ada manfaatnya
tanpa mendapatkan kemerdekaan ekonomi. Rakyat yang demokratis dalam pemilu, tak
akan ada manfaatnya tanpa demokrasi dalam bangunan ekonomi. Ketiga,
menemukan aktor yang sadar, paham dan mau melaksanakan konsepsi demokrasi
ekonomi-politik kita. Sebab, aktor merupakan sumber perubahan yang utama dalam
suatu bangsa.
Posting Komentar