Saatnya melakukan transformasi negara.
Inilah sebenarnya pesan utama reformasi 1998. Negara transformatif, kata Stiglitz
[2001], adalah negara yang dalam perspektif pembangunannya menjadi aktif dalam
kebijakan ekonomi dan menguatkan sambil mempromosikan industri nasional,
pembangunan teknologi, dan jaminan sosial yang tidak bisa dicapai melalui
mekanisme pasar liberal. Negara transformatif juga melakukan nasionalisasi
asset produksi strategis yang diperuntukkan bagi rakyat banyak, menjauhi
praktek privatisasi sambil mengelola pasar liberal menjadi pasar sosial.
Mengapa
negara harus melakukan transformasi menjadi pelaku aktif? Jawabannya karena di
penghujung kekuasaan Orde Baru, ekonomi
konglomerasilah yang dipilih pemerintah. Sebuah pilihan yang
menghasilkan kebijakan BLBI sehingga menghasilkan efek lanjut berupa krisis
ekonomi berkepanjangan. Saat yang bersamaan, kita dihempas oleh sapuan
globalisasi. Sebuah energi pasar liberal yang mengandung satu lompatan kualitas
perluasan kekuasaan ekonomi-politik seperti yang telah berlangsung
berabad-abad. Sebuah perluasan yang didorong oleh persaingan antar fraksi di
tengah kelas berkuasa untuk memperebutkan kekuasaan dan hak eksploitasi atas
rakyat miskin.
Kita
menyadari bahwa globalisasi hanyalah satu bentuk yang lebih dahsyat dari
imperialisme kuno. Sebab, ia memberi dimensi penghisapan yang lebih kuat pada
penghancuran lingkungan. Ia juga menghadirkan perang sebagai cara menciptakan
"pasar baru." Karena itu, kita menjadi sulit memercayai kenyataan
bahwa negara besar seperti AS, di abad ke-21 yang katanya beradab ini, tanpa
alasan yang jelas menyerang dan menduduki negara Irak. Suatu hal yang tidak
mungkin terjadi kecuali karena Irak kaya minyak, ladang SDA sekaligus pasar
baru. Akibatnya, kekerasan dan peperangan serta kesenjangan antar-bangsa yang
ditimbulkannya menjadi jauh lebih besar, lebih lebar.
Sejarah
mencatat bahwa kekayaan yang diakumulasi di Eropa diambil dari SDA di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin. Karena itu, tanpa perusakan industri tekstil India
yang kaya, tanpa pengambilalihan perdagangan rempah-rempah, tanpa pembunuhan
besar-besaran terhadap suku asli Amerika, tanpa perbudakan terhadap orang-orang
Afrika, revolusi industri tidak akan mendatangkan kekayaan bagi Eropa maupun
Amerika Serikat [Manurung, 2002].
Tentu
saja, peristiwa tersebut merupakan pengambilalihan SDA dan pasar lokal secara
paksa di negara-negara Selatan sehingga membuat kaya negara-negara Utara. Suatu
proses berkelanjutan yang menciptakan kemiskinan di negara-negara Selatan.
Sejarah negara-negara Utara yang kaya atau saat ini disebut sebagai negara maju
adalah sejarah imperialisme yang mempromosikan demokrasi. Dengan demokrasi yang
kuat sehingga menghasilkan negara kuat [strong state] mereka melakukan
penetrasi ekonomi-politik terhadap negara lain. Karena itu, hipotesa bahwa
peran negara menjadi sangat penting untuk mencapai kekayaan dan kesejahteraan
seperti yang dicapainya sekarang, terbukti di lapangan [DeSoto, 2003].
Negara Inggris misalnya, pada abad ke-16, menerapkan
proteksi terhadap industri wool-nya sehingga mereka menjadi negara produsen
wool terbesar di jamannya. Kebijakan proteksionistis itu berlangsung sampai
abad ke-19 ketika Inggris mulai meliberalisasi pasarnya. Pada saat itu, Inggris
telah menjadi negara industri yang dominan. Amerika Serikat pun menunjukkan
sejarah yang sama. Bahkan sebagian alasan terjadinya Civil War adalah perihal
perselisihan tentang tarif antara negara-negara bagian di utara dan selatan.
Barulah ketika Amerika Serikat telah menjadi kekuatan dunia yang dominan pasca
Perang Dunia II, ia melangkah memasuki rejim pasar liberal.
Karena
itu, negara-negara Selatan menjadi miskin bukan karena mereka malas, birokrasi
yang inefesien atau pemerintah mereka korup. Mereka miskin karena
kekayaan mereka diambilalih, kemampuan mereka untuk menciptakan kekayaan
dimusnahkan serta pasar sosial mereka dirusak dengan pasar liberal.
Reformasi adalah
Transformasi Negara
Negara Indonesia
adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan
kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka
kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dalam suatu
komunitas politik yang berkedudukan sederajat di depan hukum, dengan operasi
atas prinsip kekariban dan keadilan serta dalam naungan filosofi kekeluargaan.
Sedang reformasi adalah usaha nalar sadar waktu sekaligus wahyu untuk selalu
memperbaiki pembangunan di masa lalu yang salah sambil meneruskan yang benar.
Sayangnya, pasca sembilan tahun reformasi kita jalankan,
yang hadir di tengah rakyat justru non government individual. Sebuah
keadaan absennya negara sehingga melahirkan semangat warga biasa yang mengambil
alih langkah-langkah negara dalam melakukan gerakan kemanusiaan, pembangunan
bahkan ketertiban [BBC, 4/6/06 ].
Karena alasan itulah, debat tentang peranan negara dalam pasar
liberal, menjadi penting dilakukan. Apalagi, ketika pemerintah kita kini
dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan
kondisi yang seperti itu, mereka memiliki legitimasi yang jauh lebih kuat untuk
mengambil langkah strategis sekaligus tanggung jawab menyangkut keberhasilan
dan kegagalan negara dan pemerintahannya. Mereka diharapkan mampu menjabarkan
secara konkret konstitusi ke dalam tindakan-tindakan yang berpihak kepada
rakyat (affirmative actions policy).
Sungguh sayang jika demokrasi dan reformasi yang telah
susah payah kita perjuangkan hanya diisi oleh program koalisi konglomerat
politik dan konglomerat ekonomi. Konglomerat politik adalah mereka yang merasa
punya kekuasaan penuh karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga anti kritik
dan banyak tebar pesona. Konglomerat ekonomi [kita] adalah pelaku ekonomi yang
hanya mengandalkan proyek dari pemerintah dengan cara KKN, bukan karena
capaian-capaian bisnis yang panjang dan kuat.
Singkatnya, untuk menjadi konglomerat politik, ia harus
pandai merangkul konglomerat ekonomi sehingga melahirkan kebijakan
pro-konglomerat, bukan pro-rakyat. Lahirlah politik kapitalis dan kapitalis politik.
Sebuah adonan dan efek samping dari demokrasi liberal yang berbiaya tinggi
sehingga harus kita jauhi.
Di sinilah logika transformasi negara dan para pelakunya
menemukan argumentasinya. Sebuah perilaku transformatif yang membangun semangat
konsensus ekonomi-politik dan bukan pada kontrak ekonomi-politik. Semangat
konsensus ekonomi-politik mengangankan diembannya secara bersama hal-hal
terburuk yang menimpa negara ini apabila sampai terjadi sesuatu yang di luar
kehendak bersama. Suatu semangat yang antisipatif dengan mengambil nilai
terendah dari tindakan. Artinya, kesuksesan memang tujuan, tetapi
ketidaksuksesan juga harus ditanggung bersama [ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul].
Transformasi negara dengan demikian memberi pesan jelas
pada kita; kuatkan negaramu, baru panggil pasar [liberal] semaumu. Kuatkan
kapasitas pemerintahanmu, baru kita masuk arena global dengan menegakkan dada.
Inilah pesan reformasi yang masih dapat kita perjuangkan.
Posting Komentar