Pertanyaan di atas sepertinya
relevan dikemukakan di tengah perdebatan angka-angka kemiskinan yang hari-hari
ini menghiasi media. Bapenas (2006) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
di mana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak
dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan
maupun laki-laki.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar
masyarakat miskin ini, Bapenas
menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income
approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach)
dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar,
melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities)
seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara
lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air
bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh
rendahnya penguasaan aset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan
pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan
seseorang. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan
seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar
menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan
membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat.
Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang
miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan obyektif atau sering
juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach)
menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar
dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat
atau pandangan orang miskin sendiri [Joseph F. Stepanek, (ed), 1985].
Singkatnya, dari
pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari;
(1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan, (2) terbatasnya kepemilikan tanah
dan alat-alat produksi, (3) kurangnya kemampuan membaca-menulis, (4) ketiadaan
jaminan kesejahteraan hidup [tabungan/asuransi], (5) upah [UMR] yang rendah, (6)
akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas, dan (7) ketiadaan kesempatan
untuk aktualisasi.
Lalu apa artinya itu semua?
Ternyata, ketujuh indikator ini masih dominan dalam masyarakat kita. Secara
umum, masyarakat kita setelah gegar reformasi justru terpuruk pada ekonomi yang
sangat rendah. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi
ekonomi yang ditempuh pemerintahan hasil pemilu demokratis belum menghasilkan
masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan kita masih berpusing-pusing
menikmati dan memperpanjang transisi serta menyerahkan pemaknaan dan
realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat yang menjauhi rakyat.
Tujuan Ekonomi Makro
Agar
tercapai keempat tujuan tersebut, pemerintah dapat menggunakan instrumen
kebijakan fiskal, yakni belanja negara dan perpajakan. Belanja negara akan
mempengaruhi permintaan agregat melalui konsumsi pemungutan pajak yang akan
mengurangi pendapatan sehingga akan mengurangi pengeluaran perorangan. Secara
bersamaan konsumsi dan pajak juga mempengaruhi penanaman modal dan output
potensial. Dengan demikian, kebijakan fiskal selalu berakibat pada tingkat
pengeluaran total dan akhirnya mempengaruhi GNP riil.
Instrumen
kedua ialah kebijakan moneter yang menjadi otoritas Bank Indonesia (BI).
Kebijakan moneter pada prinsipnya ialah untuk menentukan jumlah uang beredar
dengan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Biasanya perubahan jumlah uang
beredar akan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga, serta mempengaruhi
jumlah pengeluaran untuk barang-barang modal seperti mesin atau bangunan.
Kebijakan moneter, dengan demikian, berperan penting baik terhadap GNP aktual
maupun GNP potensial.
Instrumen
ketiga ialah kebijakan ekonomi internasional. Dalam hal ini pemerintah dan BI
dapat mengintervensi kegiatan perdagangan internasional. Kebijakan-kebijakan
tersebut biasanya juga bisa digunakan untuk mempertahankan keseimbangan pasar
valuta asing. Sementara instrumen keempat ialah kebijakan pendapatan oleh
pemerintah untuk mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Misalnya melalui
ketentuan upah minimum dan harga produk tertentu untuk menaikkan pendapatan
ataupun untuk menekan laju inflasi.
Melihat
uraian konsep teoretis tersebut, jelaslah bahwa membaiknya indikator ekonomi
yang terjadi saat ini hanyalah semata-mata sasaran antara. Sedangkan
sasaran utama yang sebenarnya dapat merupakan tolok ukur keberhasilan suatu
pemerintahan dalam menyelenggarakan perekonomian negara adalah berkurangnya "tingkat
pengangguran dan tingkat kemiskinan."
Banyak
pihak yang menengarai, tidak nyambungnya penguatan ekonomi dengan sektor riil
dikarenakan "perbaikan" hanya di bisnis finansial, yaitu pasar
portofolio (saham dan obligasi) dan pasar uang. Di samping itu, kesenjangan
tampaknya disebabkan pula oleh melemahnya tiga sektor utama yang di masa lalu
memberikan kontribusi paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni
sektor pertanian, perdagangan, dan industri manufaktur.
Pertanian
yang pada 2004 memiliki kontribusi sekitar 16% terhadap PDB turun jadi 13,4%
pada tahun 2005. Perdagangan yang memiliki kontribusi 16,9% terhadap PDB pada
2004, turun jadi 15,7% tahun 2005.
Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB pun turun dari 30,1% tahun 2004
menjadi 28,1% pada tahun 2005. Penurunan produktivitas pada sektor pertanian
yang menyerap hampir 45 persen dari angkatan kerja sebenarnya harus diikuti
oleh peningkatan kinerja sektor perdagangan dan manufaktur, sehingga tenaga
kerja beralih ke sektor perdagangan dan manufaktur. Sayangnya kenyataan demikian tidak terjadi. Penurunan
produktivitas sektor pertanian justru berbarengan dengan melemahnya sektor
perdagangan dan industri manufaktur.
Sedihnya,
jumlah tenaga kerja di sektor pertanian stagnan. Sebaliknnya produktivitas
sektor ini mengalami kemerosotan. Akibatnya tingkat kesejahteraan masyarakat
pun menjadi semakin memburuk. Ujungnya adalah menambah kemiskinan, terutama di
pedesaan.
Hari ini, berbagai kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah baru berorientasi pada stabilitas makro-ekonomi.
Sedangkan sasaran utama berupa pengurangan pengangguran-kemiskinan belumlah
terwujud. Padahal kedua sasaran itu merupakan bagian dari sembilan prioritas
pembangunan yang dicanangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun
2007.
Tiga
tahun tersisa kekuasaan pemerintahanh SBY-JK, kerja keras harus dilakukan bila tidak ingin
dikatakan gagal dalam mengemban kepercayaan rakyat. Jadi, walaupun di tingkat
politik, negeri ini dipimpin pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu relatif
demokratis tetapi belum mampu mengurangi problem utama masyarakatnya;
pengangguran, kekerasan dan kemiskinan.
Posting Komentar